A.pengertian
Pengaruh Islam mula-mula terjadi di daerah pesisir atau pelabuhan yang di bawah oleh kaum pedagang muslim dari Parsi, Gujarat, dan Arab. Kedatangan Islam di Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik, ekonomi dan sosial budaya yang berlainan. Kedatangan Islam di Indonesia dapat mempengaruhi situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang ada pada kerajaan-kerajaan di Indonesia. Pada waktu Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya sekitar abad ke-7 dan 8, selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri Asia Tenggara dan Asia Timur. Kedatangan orang-orang Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur pada awalnya mungkin tidak terasa, akibat bagi kerajaan-kerajaan di negeri tersebut. Karena usaha-usaha mereka baru pada taraf menjelajahi masalah-masalah di bidang pelayaran. Tetapi pada abad ke-9 dengan terjadinya pemberontakan petani-petani Cina selatan terhadap kekuasaan T’ang masa pemerintahan kaisar Hi Tsung (878-889) dimana orang-orang muslim turut serta dan akibatnya banyak orang-orang muslim dibunuh dan mereka mencari perlindungan ke Kedah. Maka bagi orang-orang muslim berarti telah melakukan kegiatan-kegiatan politik pula. Kegiatan mereka jelas mempunyai akibat bagi kekuasaan T’ang dan kerajaan Sriwijaya, Sriwijaya yang kekuasaannya pada ketika itu meliputi daerah Kedah, melindungi orang-orang muslim tersebut.
Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 7-12
masih menunjukkan kemajuannya di bibang ekonomi. Tetapi sejak akhir abad ke-12
mulai menunjukkan kemundurannya. Kemunduran Sriwijaya dalam bidang ekonomi
yaitu bahwa persediaan barang-barang perdagangan di Sriwijaya mahal-mahal,
karena negeri itu tidak lagi menghasilkan hasil-hasil alamnya. Kemunduran di
bidang ekonomi dan politik kerajaan sriwijaya dipercepat pula oleh usaha-usaha kerajaan
Singosari di Jawa yang mengadakan ekspansi Pamalayu pada tahun 1275.
Sejalan dengan kelemahan yang
dialami oleh kerajaan kerajaan Sriwijaya, maka pedagang-pedagang muslim lebih
berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan dagang dan keuntungan politik.
Mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul dan menyatakan dirinya
sebagai kerajaan yang becorak Islam yaitu kerajaan Samudra Pasai di pesisir
timur laut Aceh, kerajaan tersebut muncul pada abad ke-13. Kerajaan Samudra
Pasai makin berkembang baik di bidang politik maupun perdagangan dan pelayaran.
Hubungan dengan Malaka sangat ramai sehingga di tempat itu timbul masyarakat
muslim. Perkembangan masyarakat muslim di di Malaka semakin meluas, dan pada abad
ke-15muncul suatu pusat kerajaan Islam. Perkembangan-perkembangan kerajaan
islam itu jelas berhubungan dengan keruntuhan Sriwijaya, yang dipercepat oleh
pengaruh kekuasaan kerajaan Majapahit sejak pertengahan abad ke-14.
Selain di wilayah Sumatra,
kedatangan Islam pertama ke Jawa tidak pula diketahui dengan pasti. Batu nisan
kubur Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082
M), mungkin merupakan bukti yang kongkrit bagi kedatangan Islam di Jawa. Tetapi
hal itu belum berarti adanya islamisasi di Jawa Timur.
Pada
abad ke-13 hingga abad-abad berikutnya, terutama ketika majapahit mencapai
puncak kebesarannya, bukti-bukti proses Islamisasi dapat kita ketahui lebih
banyak. Hal itu di dasarkan atas penemuan beberapa puluh nisan kubur di
Troloyo, Trowulan dan Gresik. Pertumbuhan Masyarakat muslim di Majapahit, terutama
di beberapa kota
pelabuhannya erat pula hubungannya dengan perkembangan pelayaran dan
perdagangan yang di lakukan oleh orang-orang muslim yang telah mempunyai
kekuasaan ekonomi dan politik di Samudra Pasai dan Malaka. Proses Islamisasi di
Jawa hingga mencapai bentuk kekuasaan politik seperti munculnya Demak, di
percepat oleh karena kelemahan-kelemahan yang di alami pusat kerjaan Majapahit
sendiri, akibat pemberontakan serta perebutan kekuasa di kalangan keluarga
raja-raja. Ketika Hayam wuruk dengan patih Gajah Mada masih berkuasa, situasi
politik pusast kerajaan Majapahit masih tenang, tetapi sejak kedua tokoh tersebut
meninggal dunia situasi politik majapahit kembali menunjukan kegonjangan,
kelemahan-kelemahan yang makin lama makin memunjak mengakibatkan keruntuhannya.
Setelah itu sengguruh yang terpaksa tunduk kepada kekuasaan muslim.
Sejak
Demak berdiri sebagai kerajaan dengan Pate Rodi atau Raden Patah sebagai rajanya,
kemudiaan kerajaan Demak menempatkan
pengaruhnya dari pesisir utara Jawa Barat, hal ini tidak dapat dipisahka
dari tujuannya yang bersifat politis dan ekonomis. Politis ialah untuk
memutuskan hubungan kerajaan Pajajaran yang masih berkuasa di daerah pedalaman,
dengan Portugis di Malaka. Dari sudut ekonomi pelabuhan-pelabuhan Sunda seperti
Cirebon,
Kalapa, dan Banten mempunyai potensi besar dalam mengekspor hasil buminya, terutama
lada yang di ambil dari daerah Lampung. Usaha raja Demak tidak sia-sia, hal ini
terbukti sejak tahun 1526/1527 pelabuhan-pelabuhan Pajajaran sudah ada di
tangan kaum muslim namun pedalaman masih bertahan dengan sepintas kembali di
atas. Tetapi akhirnya pusat kerajaan Pajajaran jatuh lalu pada sekitar tahun
1579/1580 karena serangan dari kerajaan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf.
Adapun
situasi politik ketika pengaruh Islam datang di kepulauan Maluku, tetapi tidak
seperti di Jawa. Di sana
orang-orang muslim tidak menghadapi kerajaan-kerajaan yang sedang mengalami
perpecahan karena perebutan kekuasaan. Mereka datang dan menyebarkan agama
Islam melalui perdagangan dan perkawinan. Dalam proses Islamisasi itu Maluku
menghadapi persaingan politik dan monopoli perdagangan di antara orang-orang Portugis, Spanyol,
Belanda, dan Inggris. Persaingan di antara pedagang-pedagang asing itu juga
menyebabkan persaingan antara kerajaan-kerajaan Islam sendiri.
Pada
umumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedatangan Islam dan cara penyebarannya
kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, ialah dengan cara damai, melalui
perdagangan dan da’wah oleh muballigh-muballigh atau orang-orang alim.
Kemudiaan apabila situasi politik di kerajaan-kerajaan itu mengalami kekacauan,
dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja-raja,
maka agama Islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan dan raja-raja
yang menghendaki kekuasaan.
Perlu
kita ketahui pada masa kedatangan dan penyebaran agama Islam di Indonesia
terdapat daerah-daerah yang bercorak
Indonesia-Hindu. Contonya cara-cara penguburan pada masyarakat kerajaan di Gowa
pada umumnya berdasarkan tradisi masa prasejarah yaitu penguburan arah
timur-barat dengan bekal kubur, seperti mangkok, cepuk, tempayan buatan
setempat dan barang-barang impor dari Cina, Annam, dan lain-lain. Demikian pula
ada kebiasaan untuk memberi penutup mata dari emas atau kedok bagi jenazah
bangsawan atau orang terkemuka. Bukti cara penguburan tersebut di peroleh dari penggalian-penggalian kepurbakalaan di
daerah Takalar dan Pangkajene kepulauan. Dari usia keramik maka usia kerangka
manusia berasal dari abad ke-14, 15, 16, bahkan abad ke-17.
Selain
itu peninggalan-peninggalan purbakala seperti bangunan-bangunan candi,
patung-patung, ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia
yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu/Budha. Bahkan fungsi candi pada saat itu
adalah sebagai tempat penguburan abu jenazah raja-raja. Raja-raja yang
meninggal dibuatkan patung dan perwujudannya melambangkan dewa-dewa yang mereka
puja selama hidupnya. Candi Borobudur yang bertingkat sepuluh mungkin merupakan
tempat pemujaan dan perlambangan raja-raja dinasti Sailendra.
Adapun
bahasa-bahasa di kepulauan Indonesia
pada waktu sebelum dan masa kedatangan serta penyebaran Islam bermacam-macam. Di
samping itu raja-raja, putera-putera, dan orang-orang terdekat raja mempunyai
cara bicara sendiri yang tidak dapat di mengerti oleh orang lain. Apalagi
bahasa Sansekerta yang biasanya hanya di pakai oleh golongan kecil kaum Brahmana
dan beberapa prasasti oleh raja-raja, mungkin
sejak kerajaan-kerajaan Indonesia-Hindu yang terakhir seperti Majapahit, Sunda
Pajajaran, Sriwijaya, Melayu, sudah tidak di pergunakan lagi. Setelah itu
dengan adanya penggunaan bahasa Melayu yang di sebabkan oleh hubungan
lalu-lintas pelayaran dan perdagangan yang menggunakan bahasa ini sebagai
komunikasi antar suku bangsa yang semula-mula menggunakan bahasa daerahnya
masing-masing. Dengan perdagangan itulah maka bahasa Melayu yang kemudian
disebut bahasa Indonesia meluas menjadi bahasa yang umum di pakai sebagai
Linguafranca. Kedatangan orang-orang Muslim mengembangkan dan memperbanyak
perbendaharaan bahasa Melayu dengan
kata-kata yang di ambil dari bahasa Arab.
Oleh
karena itu agama Islam di pandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut
agama Hindu, karena dalam Islam tidak mengenal kasta, dan Islam tidak mengenal
perbedaan golongan dalam masyarakat. Proses Islamisasi di Indonesia terjadi dan
di permudah karena adanya dua pihak, yakni orang-orang muslim yang datang dan
mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang menerimanya.
Permulaan Islamisasi di lakukan dengan adanya
saling pengertian akan kebutuhan dan kondisi rakyat pada saat itu. Dampak Positif Perkembangan Islam Di Indonesia Di Bidang Ekonomi
Dampak positif dari perkembangan Islam di Indonesia dalam bidang ekonomi contohnya:
Mereka lebih memilih untuk berdagang, dan perdagangannya semakin maju, serta sebagian membuka usaha.
Masyarakat Islam di Indonesia yang
berdagang, lebih memilih tempat berdagang di pesisir pantai karena lebih
mudah untuk mendapatkan ikan dan sudah ada para pembeli/konsumen yang
sudah ada di sana karna disandarnya kapal dari luar daerah yang
memudahkan mereka untuk menjual hasil yang mereka dapat.
B.Pembahasan
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA DALAM BIDANG SOSIAL BUDAYA.
B.Pembahasan
Masuknya pengaruh Islam di Indonesia memberikan dampak dalam berbagai
kehidupan masyarkat Indonesia apabila diperhatikan, maka terlihat bahwa
perkembangan agama Islam di Indonesia memberikan pengaruh hingga saat
sekarang dan itu tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Adapun pengaruh yang dapat terlihat akibat perkembangan agama Islam di
Indonesia sebagai berikut :
a. Bidang Sosial Politik
Dalam bidang sosial politik, perkembangan agama Islam membuat letak
geografis kota-kota yang mejadi pusat kerajaan berada diwilayah atau
muara sungai yang besar seperti Samudera Pasai, Pidie, Aeh, Demak,
Banten, Ternate, Goa dan Makasar merupakan pusat kerajaan yang bercorak
maritim. Dengan demikian, masyarakatnya lebih menggantungkan kehidupan
pada perdagangan sementara untuk kekuatan militernya dititikberatkan
pada angkatan laut.
Dari segi tata kota, umumnya ota-kota di atas terdiri dari tempat
peribadatan (masjid), pasar, tempat tinggal penguasa (kraton) serta
perkampungan penduduk. Perkampungan penduduk itu sendiri terbagi
berdasarkan status social ekonomi, keagamaan, kekuasaan dalam
pemerintahan. Umumnya, perkampungan untuk pedagang asing ditentukan oleh
penguasa kota. Adapun perkampungan-perkampungan yang ada diberi nama
berdasarkan fungsi dalam pemerintahan. Dalam kehidupan pendudukan,
masyarakat kota-kota kerjaan Islam itu terbagi juga dalam stratifikasi,
yaitu sebagai berikut :
1. Golonan raja dan keluarga. Mereka ini adalah golongan penguasa.
Umumnya, para penguasa Islam ini menggunakan gelar sultan. Gelar sultan
sendiri dipakai untuk pertama kali di Indonesia oleh Sultan Malik
As-Saleh.
2. Golongan elit, yaitu kelompok lapisan atas. Mereka ini terdiri atas
golongan tentara, ulama dan para saudagar. Dalam golongan ini, kaum
ulama merupakan kelompok yang menempati peran yang sangat penting. Di
antara mereka terdapat orang-orang yang dianggap wali yang menjadi
penasehat para sultan.
3. Golongan orang kebanyakan. Mereka ini merupakan lapisan masyarakat
yang terbesar. Golongan ini dalam masyarakat Jawa disebut wong cilik.
Mereka terdiri atas para pedagang, petani, tukang, nelayan serta pejabat
rendahan.
4. Golongan budak. Mereka ini umumnya berkerja di lingkungan istana
maupun bangsawan. Umumnya mereka berkerja di lingkungan ini karena
mereka tidak mampu mebayar hutang dan tawanan perang.
Dalam system birokrasi pemerintahan Islam, seorang pemimpin Negara juga merangkap ssebagai pemimpin agama.
b. Bidang Ekonomi dan Intelektual
Kedatangan para pedagang muslim di berbagai kota-kota pelabuhan
mendorong terbentuknya kota dagang. Umumnya para pedagang asing ini
tinggal di kota-kota yang disinggahinya dalam waktu yang relative lama
untuk menunggu angin musim yang baik untuk kembali berlayar kenegerinya.
Dalam proses inilah terjadi interaksi yang cukup mendalam antaa
pedagang asing dengan pedagang pribumi dan masyarakat setempat.
Kadang kala, di antara para pedagang asing ini ikut juga para ulama yang
datnag untuk menyebarkan Islam. Dengan demikian, tidak mengherankan
apabila selain menjadi pusat jaringan ekonomi, kota-kota pelabuhan juga
menjadi titik penting dalam kehidupan intelektual di kepulauan
Indonesia. Adapun kehidupan intelektual yang berkembang terutama
berkenaan dengan masalah agama. Para penguasa pribumi yang tertarik
mempelajari agama Islam umumnya mengundang para ulama Islam untuk
mengajarkan agama mereka di wilayahnya. Dalam proses penyebaran
berikutnya dilakukan oleh para ulama pribumi melalui mesjid dan ponpes.
c. Bidang Kesusastraan
Pengaruh perkembangan Islam dalam bidang kesusastraan Indonesia terutama
melihat pada karya-karya sastra di bagian timur Sumatera dan Pulau
Jawa. Adapun jenis karya sastra yeng berkembang adalah sebagai berikut :
1. Suluk, merupakan salah satu karya sastra yang berisi ajaran-ajaran
tassawuf. Contoh dari bentuk sastra ibni adalah Suluk Wijil, yang berisi
nasehat Sunan Bonang kepada muridnya yang bernama Wijil, seorang kerdil
bekas abdi Kerajaan Majapahit.
2. Hikayat, pada dasarnya sama dengan dongeng atau cerita rakyat yang
sudah ada senelum masuknya pengaruh Islam. Cerita-cerita rakyat ini
keudian disesuaikan dengan ajaran dan pengaruh Islam
3. Babad, umumnya diartikansebagai kisah sejarah, yang kadang memuat silsilah para raja dari sebuah kerajaan Islam.
3. Kesimpulan
Islam masuk ke Indonesia setelah agama Hindu dan Budha berkembang di
Indonesia. Islam masuk secar damai, walaupun ketika itu majapahit sedang
mencari puncak kejayaannya. Interkasi antara Islam dan Hindu-Budha
berlangsung secara baik dan saling bertoleransi karena adanya motif yang
saling menguntungkan keduanya.
Menurut bukti arkeologis Islam masuk Indonesia mulai abad ke-7 Masehi.
Ada beberapa saluran Islamisasi di Indnesia, yaitu perdagangan,
perkawinan, tassawuf, pendidikan dan kesenian. Saluran-saluran ini
semakinmempercepat berkembangnya Islam di Indonesia. Masyarakat
Indonesia pun merespon positif masuknya agama Islam karena ada dua
faktor yaitu internal dan eksternal. Factor internal antara lain, syarat
masusk Islam sangatlah mudah, tidak ada kasta dalam Islam dan
penyebaran Islam disebarkan secara damai. Sementara, factor eksternal
yang mendorong perkembangan Islam adalah agama Islam mudah, masalah
kekayaan, kemampuan militer, konflik politik dan kedatangan bangsa
Kristen Barat.
Perkembangan Islam yang oeat mengakibatkan mulai terbentuknya
kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Malaka dan Demak.
Struktur politik masyarakat juga berubah dengan adanya konsep raja
sebagai khalifah Tughan di dunia. Sementara di bidang ekonomi, muncullah
kota-kota dagang. Perkembangan Islam juga mempengaruhi dunia
kesusastraan Indonesia dengan dikenalnya jenis karya sastra seperti
suluk, babad dan hikaya.
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA DI BIDANG PENDIDIKAN (MODERN : EKONOMI ISLAM DAN PENDIDIKAN)
Kedatangan agama Islam pada abad ke-7 M ke dunia dianggap oleh sejarawan
sebagai pembangunan Dunia Baru dengan pemikiran baru, cita-cita baru,
kebudayaan serta peradaban baru. Selama lebih dari empat belas abad semenjak
Nabi Muhammad menyebarkan ajaran-ajaran baru dalam bidang teologi monoteistis,
bidang kehidupan indivindu, bidang kehidupan masyarakat, dan kenegaraan, dan
dilanjutkan Khulafau al-Rasyidin, Umawiyah, Abbasiyah, terbentanglah peradaban
Islam dari Wilayah Spanyol sampai benteng Cina, dari lembah Sungai Wolga di
Rusia sampai ke Asia Tenggara, belakangan bahkan sudah hampir ke seluruh dunia.
Menurut Harun Nasution ada tiga fase atau priode sejarah perkembangan
peradaban Islam yaitu:
1.
Priode klasik, yaitu mulai lahirnya Islam tahun
650 M sampai dengan jatuhnya Bagdad ke tangan Hulagukan tahun 1250 M,
2.
Priode pertengahan, yaitu stelah jatuhnya Bagdad
tahun 1250 M sampai dengan timbulnya kesadaran umat Islam tahun 1800 M,
3.
Priode modern, yaitu terjadinya pembaharuan
pemikiran di dunia Islam pada tahun 1800 M sampai sekarang.[1]
Kaitannya
dengan priode modern, sering diistilahkan atau dimaknai sama dengan priode
pembaharuan pemikiran dalam dunia Islam. Karena kata pembaharuan merupakan
terjemahan dari bahasa Barat ”modernisasi” atau dalam bahasa Arab ”al-tajdid”,
mempunyai pengertian ” pikiran, gerakan untuk menyesuaikan paham-paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ”. Dengan jalan itu
pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari
suasana kemunduran atau kejumudan kepada kemajuan.[2]
Untuk
di Indonesia apabila kita melihat rentetan sejarah peradaban Islam yang
dialaminya, maka masa atau priode dalam arti gerakan pembaharuan pemikira, itu
muncul sebelum kemerdekaan sekitar tahun 1900 M abad ke-20 sampai sekarang.
Untuk
lebih jelas, selanjutnya akan dibahas dalam makalah yang sangat sederhana ini,
yaitu gambaran sejarah ekonomi dan pendidikan Islam, baik dalam tataran konsep
dan sejarah pemikiran maupun prakteknya di Indonesia dalam kurung waktu atau priode
modern.
II.
Ekonomi Islam di Indonesia
A.
Pengertian
Ada beberapa pendekatan untuk merumuskan pengertian tentang ekonomi Islam.
Pertama, menilai pengertian ekonomi modern dengan ajaran Islam. Dengan cara
ini, ekonomi Islam didefenisikan sebagai ilmu ekonomi dalam sorotan
prinsip-prinsip Islam, dengan membawa
ilmu ekonomi modern dalam keselarasan dengan syari’ah. Kedua, defenisi paling
mutakhir dan paling sedikit dikeritik. Misalnya yang dikemukakan Lord Robbins,
Ekonomi Islam adalah ” Suatu Ilmu yang mempelajari prilaku manusia sebagai
hubungan antara tujuan dan alat-alat langka yang mengandung pilihan-pilihan
dalam penggunaannya, sesuai dengan syari’at Islam”
Dengan
pertimbangan di atas, Hasanuz-Zaman mencoba menyusun defenisi sendiri, bahwa
Ekonomi Islam adalah sebagai pengetahuan dan aplikasi pedoman dan aturan-aturan
syari’ah yang mencegah ketidak adilan dalam memperoleh dan memanfaatkan
sumber-sumber material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka
melaksanakan kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
Pendekatan
lain dilakukan oleh Akram Khan dalam usahanya merumuskan defenisi ekonomi
Islam, dengan mencoba menghindari defenisi yang ada, sehigga keluar rumusannya
: ”Ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah), yang
dicampai dengan mengorganisasikan sumber-sumber di bumi, berdasarkan asas kerja
sama dan partisipasi.”[3]
Kalau
kita cermati dari beberapa rumusan defenisi mengenai ekonomi Islam maka dapat
disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah upaya penerapan syariat dalam kehidupan
ekonomi untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Dan Islam sebagai suatu sistem
ekonomi Islam adalah suatu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat
dan negara dengan menggunakan metode dan cara yang islami, dan mampu memberikan
konstribusinya secara optimal.
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Ajaran Islam mengenai ekonomi telah ada sejak
lahirnya Islam itu sendiri, yakni pada abad ke 7 masehi, bahkan Islam, agama
wahyu yang dirisalahkan sejak manusia pertama, yakni Nabi Adam a.s., dan
dilanjutkan, disempurnakan melalui nabi-nabi Allah sampai kepada nabi terakhir
Muhammad saw. adalah sumber dan pedoman tingkah laku manusia. Kegiatan ekonomi
adalah bagian dari prilaku manusia, maka ilmu dan aktivitas ekonomi harus
berada dalam Islam.[4]
Petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam bidang ekonomi itu dikenal dan diterapkan
pula berabad-abad di bagian-bagian dunia yang diperintah oleh penguasa-penguasa
Muslim yang membentang dari Spanyol di Barat sampai di India Timur. Bahkan di
banyak bagian wilayah tanah air kita, Indonesia.[5]
Dan ini merupakan pengalaman empiris dan sebagai batu uji bagi pemikir muslim
era globalisasi untuk membangkitkan kembali Islam yang akan mewarnai abad
ekonomi modern dewasa ini baik ditingkat nasional, regional maupun global.
Gagasan mengenai konsep ekonomi Islam sebenarnya
baru muncul secara internasional pada sekitar belahan kedua dasawarsa 70-an,
ketika untuk pertama kali diselenggarakan Konprensi Internasional tentang
ekonomi Islam di Makkah pada 1976. Dan pembahasan secara modern yang bersifat
filosfis sudah ada sejak permulaan dasawarsa 50-an dan meningkat pada dasawarsa
selanjutnya mengenai sistem ekonomi, pembangunan ekonomi, sejarah pemikiran
ekonomi dan analisis ekonomi yang sifat empiris.[6]
Babak baru perkembangan pemikiran
mengenai ekonomi Islam ini disebabkan beberapa faktor antara lain:
1.
Timbulnya kekuatan ekonomi petro dollar, artinya,
dollar yang dihasilkan oleh industri perminyakan.
2.
Timbulnya kesadaran tentang kebangkitan Islam pada
abad ke-14 Hijriyah yang melanda dunia Islam
3.
Lahirnya generasi baru intelektual Muslim yang
mendapatkan pendidikan modern, baik di Barat maupun di negara-negara Islam
sendiri.[7]
Pertemuan para ahli ekonomi muslim sedunia dalam Konprensi tersebut, telah
mendorong gairah untuk menggali nilai-nilai Islam bagi ekonomi bangsa sedunia
di tengah-tengah krisis kehidupan akibat sistem ekonomi kapitalis-indvidulistis
dan marxis-sosialistis.
Sudah cukup lama sebenarnya gagasan tentang ”Ekonomi Islam” itu berkembang.
Di Indonesia, pada tahun 1923, Haji Oemar Said Tjokroaminoto telah menulis
sebuah buku yang berjudul Sosialisme Islam. Bahkan dari karangan Bung Hatta
dapat diketahui, bahwa zaman pergerakan kemerdekaan itu sudah pernah dibentuk
bank Islam yang mengganti bunga dengan biaya Administrasi. Pada zaman
kemerdekaan, Kaharuddin Junus menulis disertasi di Universitas Cairo tentang
sistem ekonomi Islam yang diberi nama ”Bersamaisme” yang menyerupai
konsep koperasi seperti yang kita kenal sekarang. Sebuah buku terjemahan ”Islam dan Teori
Pembangun”, karya Dr. Anwar Iqbal Quraisy, pernah pula diterbitkan. Namun
kemudian memang jarang ditulis dalam artikel-artikel pendek hal-hal mengenai
ekonomi Islam. Sehingga menimbulkan kesan diskursus mengenai ekonomi Islam
terputus-putus.[8]
Di Indonesia perhatian terhadap
pengembangan teori ekonomi yang bertolak dari keislaman, boleh dikatan tidak
ada, kecuali pada beberapa pribadi yang berpikir secara terpisa, seperti Dr.
A.M. Saefuddin, Dr. Halide, dan Dr. Murasa Sarkaniputra. Sebelumnya, Syafruddin Prawiranegara, seorang
teknokrat terkemuka, pernah menjelaskan pandangannya mengenai ”Apa yang
dimaksud dengan Sistem Ekonomi Islam” dalam kesempatan lahirnya HUSAMI
(Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia) pandangannya itu adalah kelanjutan dari
dan penjelasan lebih lanjut dari apa yang ditulisnya pada 1951 yang berjudul ”
Motif Atau Prinsip Ekonomi Diukur menurut Hukum Islam” dia mengemukakan
berbagai ketentuan Syari’ah dan akhlak yang seharusnya membentuk motip ekonomi.[9]
Pembahasan mengenai ekonomi Islam di Indonesia pada pada awal Orde Baru menuntut
tetap dalam kerangka pemikiran tentang Ekonomi Pancasila. Jika tidak, maka
orang bisa mempertentangkan keduanya dengan motif politik. Sebenarnya kedua
konsep tersebut masih berada dalam masa pembentukan. Tapi secara substansif,
Ekonomi Islam sudah lebih jauh berkembang. Sedangkan di Indonesia, Ekonomi
Pancasila belum sepenuhnya diterima oleh semua kalangan, karena konsepnya bagi
sebagian orang belum jelas. Sedangkan ide ekonomi Islam telah dikembangkan
secara internasional oleh pakar-pakar multinasional di bergai lembaga nasional
dan internasional di Dunia Islam, maupun negara-negara Barat.
Gagasan ”
Ekonomi Islam pada awal Orde Baru tersebut pemunculannya mungkin masih
dirasakan sensitif. Sebab ia akan dipertentangkan dengan Ekonomi Pancasila,
sejalan dengan kecenderunagan mempertentangkan konsep ” Negara Islam” dengan
Negara berdasarkan Pancasila. Ini karena pengaruh perdebatan tentang dasar
negara dalam Sidang Konstituante 1957-1959. Karena pada waktu itu konsep negara
berdasarkan Islam ditampilkan sebagai alternatif terhadap konsep negara
berdasarkan Pancasila, yang berakhir di sebuah jalan buntu dan mendorong
lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, disamping menetapkan Pancasila sebagai
Dasar Negara juga merintis jalan menuju ke pemerintahan yang otoriter dan
represif dalam priode 1959-1995.
Namun
demikian terjadi perkembangan pemikiran yang lebih dewasa, baik tentang
Pancasila maupun tentang Islam di masa Orde Baru. Pancasila dipahami tidak
lebih dari sebuah nama daripada ideologi yang substansial opersional. Sementara
itu, Islam sebagai konsep pemikiran modern, telah memiliki substansi yang lebih
jelas.[10]
Apalagi masa sekarang ini pemerintah membuka seluas-luasnya keran kebebasan untuk
berpendapat dalam semagat otonomi.
C.
Ekonomi Islam di Indonesia
Di tengah krisis sistem kontemporer yang
bebas nilai, hampa nilai yakni paham Kapitalis dan Sosialis, kita menemukan Islam
sebagai suatu sistim nilai yang penuh dan lengkap memuat nilai-nilai dalam
segala aspek kehidupan termasuk ekonomi, yang bersumber pada tauhid, bahkan
memuat nilai-nilai instrumental dan norma-norma yang operasional untuk
diterapkan dalam pembentukan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat. Islam sendiri
telah melengkapi kita dengan lembaga-lembaga ekonomi-sosial seperti zakat,
wakaf, hibah, larangan bunga/rente (riba), kerja sama ekonomi (qirad,syirkah)
jaminan sosial, dan peranan pemimpin umat dan negara dalam pengaturan ekonomi
dalam masyarakat [11]
Negara-negara
Islam atau yang mayoritas penduduknya Islam secara makro tidak memiliki
strategi pembangunan yang benar-benar didasarkan pada prinsip Islam. Kecuali
yang tegas mencoba melakukan eksperimen ekonomi Islam barulah Malaysia dan
Iran. Sedangkan Indonesia mencoba sistem ekonomi ”campuran“. Meskipun dalam beberapa hal terdapat
kecenderungan positif dengan makin berkembangnya lembaga-lembaga ekonomi Islam
yang dikelolah lebih profesional. Di Indonesia tren itu tampak dari berdirinya
BMI (Bank Muamalat Indonesia) yang berdiri tahun 1992 dengan modal awal 123
miliar, serta banyaknya lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), BMT (Baitul
Mal wat-Tamwil) yang mengembangkan sumber-sumber pendanaan umat Islam.[12]
Di
Indonesia yang lebih suka mengembangkan ekonomi campuran dalam format Ekonomi
Pancasila tampaknya berkali-kali harus mengalami trial and error. Ketika Orde Lama
ekonomi kita lebih miring kepada sosialisme. Dalam Orde Baru banyak pihak
menilai ekonomi kita lebih kapitalistik dari pada di negara tempat lahirnya
kapitalisme itu sendiri. Hal ini tampak sekurang-kurangnya dari paket-paket
deregulasi sejak 1983 yang lebih menguntungkan kelas atas.
Ilmu
ekonomi sebagaimana kini diajarkan di sekolah, universitas, institut dan
akademi di Indonesia, dan juga diterapkan dalam sistem perekonomian nasional
serta dicoba untuk dikembangkan oleh para ahlinya adalah ekonomi yang sarat
memuat nilai-nilai kultur barat. Baik secara ontologis, epistemologis,
dan aksiologis.
Secara
ontologis dasar asumsinya adalah bahwa manusia adalah binatang
ekonomi(homo-ekonomicus) yang akan senantiasa berusaha mengejar keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang seminimum mungkin. Dan pada dasarnya
manusia adalah egois, mementinkan diri sendiri. Segala tindakan kebaikannya
bukan didorong atas dasar nilai moral. Secara epistemologis dikembangkan
berdasarkan logika dan fakta empiris dari suatu bagian masyarakat manusia
tertentu yang memiliki nilai-nilai prilaku sosial tersendiri. Dalam kerangka aksiologis
tentu tidak terlepas dari tujuan pengembangannya demi menjaga kepentingan
nilai-nilai filsafat yang mendasarinya. Yakni fisafat ekonomi kapitalisme
berasas laissez faire (bebas, liberal) dan filsafat ekonomi sosialisme
berasas kepada pertarungan kelas.
Pola
kehidupan kita yang kapitalis adalah wujud dari sistem kehidupan ekonomi kita
sekarang ini. Akibat-akibatnya telah merembes kepada bidang kehidupan lain. Tak
heran makin pudar nilai-nilai kehidupan yang ramah, jujur, gotong royong,
musyawarah, kerukunan dan kebersamaan, digeser oleh nilai-nilai individualisme,
materealisme, konsumerisme dan bahkan sekularisme serta nilai-nilai yang bertentangan
dengan nilai kemanusiaan atau nilai agama.[13]
Pada awal tahun 90-an,
baik pemerintah ataupun para pemimpin umat, semakin besar kepedulian dan
keinginannya untuk memecahkan prolematika umat di sektor informal. Dalam
lokakarya ” Bunga Bank dan Perbankan” yang diselenggarakan Majelis Ulama
Indonesia di Hotel Sahid (22-25 Agustus 1990) merumuskan pandangan mengenai
pembentukan Bank Islam. Berangkat dari hasil lokakarya itulah, kemudian
dibentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mengawali operasinya pada tanggal 1
mei 1992 dengan modal sekitar Rp. 84 sampai Rp. 116 miliyar.
Kehadiran Bank Muamalat
Indonesia (BMI) ini, jelas bisa dilihat sebagai suatu usaha nyata untuk
memerangi problematika ekonomi umat. Selain itu merupakan upaya untuk memanfaatkan
potensi ekonomi umat secara optimal dan efektif sesuai dengan akidah dan
syariat Islam. Meskipun cukup banyak persolan umat yang ingin dipecahkan
melalui pendirian BMI. Tapi yang jelas BMI lebih melekat pada aspek keuangan
dan permodalan, yang oleh para pemimpin umat dinilai sebagai suatu faktor
penentu dalam memecahkan problematika ekonomi umat. Setelah lembaga perbankan
bersyariat Islam ini digulirkan, maka dibentuk pula lembaga asuransi berwawasan
keislaman dengan nama Asuransi Takaful. Selanjutnya didirikan pula Bank
Perkereditan Rakyat (BPR) Syariat dan Baitul Mal wat-Tamwil di berbagai daerah.
Kesemuanya ini dibentuk untuk menyediakan ”fasilitas pendanaan” bagi umat
Islam.
Keberadaan perbankan Islam di tanah air
mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada
tahun 1983. Hal ini karena sejak itu diberi keluasan , penentuan tingkat suku
bunga, termasuk nol persen(atau peniadaan bunga sekaligus). Sungguh pun tidak
termanfaatkan karena tidak diperkenankannya pembukaan kantor cabang baru. Hal
ini berlangsung sampai tahun 1988, dimana pemerintah mengeluarkan pakto 1988
yang diperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisinya perbankan
syariah semakin pasti setelah disahkan UU perbankan no. 7 tahun 1992 dimana bank
diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan di ambil dari
nasabahnya baik bunga atau keuntungan bagi hasil.[14]
Bagi hasil adalah perinsip muamalah berdasarkan syariah dalam melakukan
kegiatan usaha bank.[15]
Diantara bank-bank yang beroperasi
dengan sistem bagi hasil adalah Bank Muamalah Indonesia, Bank IFI Syariah, Bank
Syariah Mandiri, dan Bank BNI Syariah ditambah dengan BPR-BPR Syariah dan
Baitul Mal wa Tamwil. Hadirnya lembaga keungan ini diharapkan mampu menjagkau
lapisan bawah untuk mengenal dan memfaatkan jasa bank. Namun lembaga-lembaga
keuangan ini tidak begitu saja bisa dimanfaatkan umat karen mereka sudah terbiasa hidup dalam
ekonomi Kapitalis baik yang beroperasi secara resmi ataupun secara tidak resmi
(rentenir).[16]
Disamping itu masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum memahami dan
mengenal perekonomian yang berbasis syariah secara menyeluruh. Walaupun di sisi
lain, MUI sudah mengeluarkan fatwa haram atas bunga bank yang menjadi acuan
bagi umat Islam di Indonesia agar memilih institusi keuangan yang tidak
menerapkan sistem bunga.
Ekonomi berbasis syariah di Indonesia
menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Sekarang, penerapan hukum syariah
bukan hanya terbatas pada bank-bank saja, tapi sudah menjalar ke bisnis asuransi,
bisnis multilevel marketing, koperasi bahkan ke pasar modal. Para investor
Muslim kini tidak perlu susah-susah lagi untuk menanamkan modalnya pada suatu
jenis usaha, karena Bursa Efek Jakarta sudah memiliki Jakarta Islamic Index
yang memuat indeks saham-saham yang masuk kategori halal.[17]
Meski sudah menunjukkan
eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi
syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala
lainnya adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini,
terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam
menentukan kebijakan ekonomi. Keberpihakan pemerintah terhadap ekonomi syariah
sangat penting, karena hal ini bukan semata-mata menyangkut mayoritas umat
Islam di Indonesia tapi berkaitan dengan masalah stabilitas ekonomi nasional.
Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah
yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi
yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi
konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk
sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah
membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala
perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
Penerapan ekonomi syariah harus dipahami sebagai bagian
integral dari penerapan syariat Islam secara kaffah. Penerapan hukum syariah
dalam perekonomian tidak akan berhasil tanpa didukung penerapan hukum syariah
di bidang yang lain. Teori dan sistem ekonomi syariah yang baik, bukan jaminan
bagi penegakkan perekonomian Islam kalau kaum muslimin sebagai pelaku
ekonominya belum terlembagakan dengan baik.
Institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai
melirik sistem syariah, antara lain, karna pasar yang potensial dimana mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis
secara Islami. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan
prinsip syariah, mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda
Indonesia.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti
jumlah kantor cabang bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek
perbankan syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin cerah. Hal itu
diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhadin Abdullah di sela-sela acara
dialog ekonomi syariah di Jakarta pekan lalu. Burhanudin mengatakan bank-bank
yang ada sekarang bisa memanfaatkan kebijakan dihilangkannya Batas Minimum
Penyaluran Kredit (BMPK) untuk melakukan penyertaan pada bank lain.[18]
Selain perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga
mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip
asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan
riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat
Islam yang ada di Indonesia,
prospek asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan
diperkirakan Indonesia
bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO
perusahaan asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb
memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syariah bisa mencapai 10 persen market
share asuransi konvensional.
Data
dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan
ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi
konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari
industri keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya,
sistem ekonomi syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang
bukan hanya berjiwa wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur,
menetapkan upah yang adil dan menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan
bawahan.[19]
Bisa
dibayangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi
syariah ini sudah mencakup segala aktivitas ekonomi di Indonesia.
Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka luas. Persoalannya sekarang,
mampukah kita memanfaatkan peluang yang terbuka lebar itu.
III. Pendidikan
Islam di Indonesia
A. Pendidikan Islam pada Zaman
Penjajahan
1.
Zaman Penjajahan Belanda
Kalau
sebelum tahun 1900 lembaga-lembaga pendidikan Islam masih relatif sedikit dan
berlangsung secara sederhana.[20]
Lain halnya setelah itu. Dalam priode ini telah terjadi perubahan, banyak
didirikan sekolah-sekolah agama dengan model barat. Kegiatan belajarnya tidak lagi berlangsung di
surau, tetapi di kelas dengan sistem klassikal. Kurikulum yang diajarkan tidak
lagi hanya pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan umum, bahkan bahasa
Belanda dan bahasa Inggris juga menjadi bagian dari kurikulum.[21]
Priode
ini dipelopori oleh Syekh Ahmad Khatib ulama dari Minangkabau dan kawan-kawannya
yang begitu banyak mendidik dan mengajar pemuda di Mekkah, terutama
pemuda-pemuda yang berasal dari Indonesia dan Malaya. Murid-murid beliau seperti
H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) yang mengajar di Surau Jembatan Besi
Padang Panjang, KH. Ahmad Dahlan(pendiri Muhammadiyah) di Yokyakarta dan KH.
Adnan di Solo [22] Juga termasuk KH. Hasyim Asy’ari pendiri
Pesantren Tebuireng dan kemudian Nahdhatul Ulama(NU). Dengan demikan sudah
barang tentu murid-murid mereka yang kembali dari Mekkah ikut berandil dalam
pembaharuan pendidikan Islam di Indnesia sekembalinya di tanah air. Dalam hal
ini tentunya wajar bila dikatakan bahwa Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan
kawan-kawan merupakan reformed pendidikan Islam khususnya di Sumatra dan
Indonesia pada umumnya.
Pembaharuan
Islam di Indonesia bukan hanya diilhami oleh para ulama kita yang menjadi
pendidik di Mekkah, tetapi pengaruh yang datang dari mesir juga tidak kalah
pentingnya. Syekh Thaher Jalaluddin dianggap salah seorang pembaharu di
Indonesia karena banyak memperkenalkan paham Muhammad Abduh di Indonesia
melaluai Majalah Al-Imam yang diterbitkan di Singapura sekitar tahun 1906.
Majalah inilah yang memuat artikel tentang pengetahuan populer, komentar
tentang kejadian-kejadian penting di dunia, terutama di dunia Islam dan juga
mengenai masalah-masalah agama. Dalam hal ini penulis makalah atau
jurnal-jurnal pada waktu itu seringkali mengutip pendapat Muhammad Abduh dan
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh majalah al-Manar di Mesir. Majalah
al-Imam tersebar di kawasan Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Dan inilah
yang banyak mengilhami H. Abdullah Ahmad salah seoarang tokoh dan pelopor
pembaharu pendidikan Islam di Minangkabau dari Padang Panjang pemilik Surau
Jembatan Besi untuk menerbitkan majalah al-Munir pada tahun 1911.[23]
Kalangan pendidik Islam dalam hal ini
para ulama menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional
mereka menganggap sudah tidak begitu sesuai lagi dengan iklim Indonesia dan
jumlah murid yang ingin belajar pun dari hari kehari semakin bertambah, maka
dirasakan kebutuhan untuk memberikan pelajaran agama di madrasah atau sekolah
secara teratur. Dengan demikian berdirilah seperti madrasah Adabiyah pada tahun
1915 di Padang yang dipimpin oleh Syekh Abdullah Ahmad. Demi memperbaiki mutu
pendidikan Abdullah Ahmad memasukkan empat orang guru berbangsa Belanda disamping dua orang
Indonesia yang memiliki ijazah mengajar di tingkat HIS. Pada tahun 1916 Sekolah
Adabiyah ini mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai HIS pertama yang
didirikan oleh organisasi Islam.
Surau
yang pertama memakai sistem kelas dalam proses belajar mengajar adalah Sumatra
Thawalib Padang Panjang yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim Amrullah pada
tahun 1921. Selanjutnya tahun yang sama Sumatra Thawalib Parabek Bukittinggi
yang dipimpin oleh Syekh Ibrahim Musa.[24]
Sedangkan madrasah yang pertama di Aceh ialah madrasah Sa’adah Adabiyah yang
didirikan oleh Jami’yyah Diniyah Pimpinan T. Daud Beureuh pada tahun 1930 di
Belang Paseh Sigli.[25]
Kemudian di Jawa pada tahun 1919 KH. Hasim Asy’ari mendirikan madrasah
salafiyah di Tebuireng Jombang.[26]
Pembaharuan
ini juga ditandai lahirnya beberapa organisasi Islam selain yang disebutkan di
atas – Sumatra Thawalib- yaitu Jamiat al-Khairat, Al-Irsyad, Muhammadiyah, PUI,
Persis yang mendirikan sekolah-sekolah Islam.[27]
2.
Zaman Penjajahan Jepan
Pada masa awal penjajahan Jepang
berusaha menunjukkan itikad baiknya kepada Tokoh-tokoh Islam, disamping
memberikan bantuan para pembesar-pembesar Jepang mengunjungi pondok pesantren,
memberikan latihan dasar kemeliteran bagi pemuda Islam, sekolah negeri diberi
pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama, mengizinkan
berdirinya Sekolah Tinggi Islam, ini semua dilakukan supaya kekuatan umat Islam
dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang
dipimpin oleh Jepang.
Tentang sikap penjajah Jepang terhadap
pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam
lebih leluasa ketimbang pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Karena Jepang
melihat kepentingan yang paling besar adalah bagaimana memenangkan perang untuk
menjadi pemimpin Asia Timor Raya.
Jepang memandang bahwa agama Islam salah
satu sarana yang terpenting untuk menyusupi lubuk rohaniah terdalam dari
kehidupan masyarakat Indonesia dan untuk meresapkan pengaruh pikiran serta
cita-cita mereka kebagian masyarakat paling bawah. Dalam konteks ini mereka
membentuk KUA, Masyumi(Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Akhirnya dengan terbentuknya dua organisasi
Islam tersebut, berarti dalam kenyataan umat Islam telah diberi suatu aparatur
yang akan menjadi sangat penting bagi masa depan umat Islam, terlepas dari apa
tujuan semulah Jepang membentuk organisasi tersebut. Dan inilah cikal bakal
terbentuknya Departemen Agama di kemudian hari.
Adapun madrasah pada masa awal-awal pendudukan
Jepang dibangun dengan gencar-gencarnya, terlihat misalnya di Sumatra terkenal
dengan madrasah Auliyahnya. Hampir di seluruh pelosok pedesaan terdapat
madrasah Auliyah. Waktu belajarnya sore hari lebih kurang satu setengah jam
lamanya belajar, materi yang diajarkan antara lain: membaca al-Quran, ibadah,
akhlak dan keimanan sebagai latihan atau peraktek pelajaran agama yang
dilaksanakan di sekolah rakyat pagi hari.
Secara umum pendidikan mengalami
kemerosotan karena terbengkalai, murid-murid setiap hari hanya disuruh gerak
badan, baris berbaris, bekerja bakti, bernyanyi dan sebagainya. Yang agak
beruntung adalah madrasah-madrasah yang ada dalam lingkungan pondok pesantren
yang bebas dari pengawasan lansung pemerintah pendudukan Jepang sehingga proses
belajar mengajar tetap berjalan dengan wajar.
B. Zaman Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka,
penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah ,
baik di sekolah Negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan
bantuan terhadap lembaga tersebut sebagai mana yang dianjurkan oleh Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 25 Desember 1945, yang
menyebutkan bahwa:
Madrasah dan pesantren yang pada
hakikatnya satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang
sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah mendapat
perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari
pemerintah.[28]
Kenyataan demikian timbulah kesadaran
umat Islam yang dalam, sekian lama mereka terpuruk di bawah kekuasaan penjajah.
Terutama masa kolonial Belanda yang sangat diskriminatif terhadap kaum
muslimin. Menyebabkan dari segi intelektualitas ketimbang golongan lain sangat
ketinggalan.
Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai
membuahkan sesuatu yang luar biasa besar mamfaatnya bagi kaum muslimin,
terutama di bidang pendidikan modern.
Upaya menjalankan sistem pendidikan
nasional, pemerintah memberi penghargaan tinggi bagi pendidikan agama Islam,
termasuk lembaga-lembaga pendidikan Islam yang suadah ada. Pada tanggal 22
Desember 1945 BPKNIP(Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengumumkan
(Berdasar Berita RI tahun II No. 4 dan hal 20 kolom 1) bahwa: ” Dalam memajukan
pendidikan dan Pengajaran di langgar-langgar dan madrasah berjalan terus dan
diperpesat.” Berikutnya, pada tanggal 27 Desember 1945 BPKNIP menyarankan agar
pendidikan agama Islam di sekolah mendapat tempat yang teratur, seksama, dan
mendapat perhatian yang semestinya.
Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk
Departemen Agama, yang juga mengurusi penyelengaraan pendidikan agama di sekoah
umum dan mengurusi sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pondok pesantren.
Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai
komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan
dan Pegajaran No. 4 tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana
dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat dari
Menteri Agama dianggapa telah memenuhi kewajiban belajar.[29]
Sehubungan dengan tugas Departemen Agama
kaitannya dengan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum baik negeri
atau swasta, maka pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) antara Menteri Agama dengan Menteri PP dan K (Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan ) selaku pengelolah pendidikan pada umumnya dan mendapat kepercayaan
untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Maka sejak itulah terjadi
semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan
Umum.[30]
Pada akhir Orde Lama tahun 1965
Kementrian Agama mencanangkan rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan
dengan menujukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai
berikut:
1. Pesantren Indonesia Klasik;
sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama guru dan muridnya hidup dalam
satu komunitas bekeja sama mengelolah tanah milik pesantren untuk memenuhi
kebutuhan sendiri.
2. Madrasah Diniyah; yaitu
sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri
yang berusia 7 sampai 20.
3. Madrasah-madrasah swasta, yaitu
pesantren yang dikelolah secara modern.
4. Madrasah Ibtdaiyah Negeri
(MIN), yaitu sekolah dasar negeri 6 tahun, pendikan selanjutnya dapat diikuti
pada MTsN, atau (sekolah tambahan tahun ke tujuh) untuk mengikuti pendidikan
guru Agama untuk Sekolah Dasar Negeri, setelahnya dapat diikuti kursus Guru
Agama selama dua tahu untuk menjadi guru agama pada Sekolah Menengah.
5. PendidikanTeologi
tertinggi pada IAIN.
Sejak tahun 1966 pendidikan agama
menjadi vak wajib mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di
seluruh Indonesia.
Semangat Orde Baru yang ingin
melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekuen dan membangun manusia Indonesia
seutuhnya, pendidikan agama makin memperoleh tempat yang kuat dalam struktur
organisasi pemerintahan. Dalam sidang-sidang MPR sejak tahun 1973 selalu
ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di
sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan sudah
dikembangkan sejak Taman Kanak-kanak(Bab V pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun
1990 dalam UU Nomor 2 Tahun 1989).[31]
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional sebagaiman yang dikehendaki UUD 1945 adalah
merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem
pendidikan nasional untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yang masih
berjalan. Karenanya masalah-masalah pendidikan terutama yang menyangkut
kurikulum pendidikan, maka semuanya di bawah koordinasi Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Ini artinya bahwa pendidikan Islam mendapatkan peluang serta
kesempatan yang besar untuk lebih berkembang.
Meskipun sebenarnya keberadaan Madrasah
jauh sebelum ditetapkannya UU No. 2 Tahun 1989 sudah diakui dan sederajat SMP
dan SMA. Hal ini bisa dilihat dengan adanya SKB 3 Menteri antara Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1976,
disebutkan bahwa ijazah madrasah disamakan dengan ijazah sekolah umum yang
sederajat.
Selanjutnya diikuti oleh SKB 2 menteri
antara Menteri Agama Nomor 0.45/1984 dan Menteri P dan K Nomor 0299/V/1984,
tentang pembekuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah, dimana
dinyatakan bahwa madrasah memiliki persamaan sepenuhnya dengan sekolah umum
dalam mencapai cita-cita pendidikan nsional dan diharapkan dapat berperan sama
dengan sekolah umum dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan pendidikan Islam terus
mengalami peningkatan. Seiring dengan itu tuntutan untuk mendirikan Perguruan
Tinggi juga meningkat. Sebelum kemerdekaan sebenarnya sudah ada perguruan
tinggi yaitu SIT (Sekolah Islam Tinggi) di Minangkabau. Di Jakarta didirikan
STI (Sekolah Tinggi Islam) pada juli 1945, kemudian berubah nama menjadi UII
(Universitas Islam Indonesia). Setelah kemerdekaan di Jogya juga dibuka UGM
(Universtas Gaja Mada). Fakultas Agama UII berubah menjadi PTAIN (Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri. Di Jakarta di buka ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama).
Pada bulan Mei 1960 PTAIN digabung dengan ADIA menjadi IAIN.
IAIN semakin berkembang dan melahirkan
cabang-cabangnya di berbagai wilayah ditambah dengan tumbuhnya perguruan tinggi
swasta. Pada tahun 2002 IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN disusul
kemudian IAIN Malang dan IAIN Makassar yang di dalamnya menyelenggarakan
pendidikan selain fakultas-fakultas
agama, juga membuka fakultas umum atau sains.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ekonomi
Islam di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian
Indonesia di tengah krisis sistem ekonomi kontemporer yang bebas nilai, hampa
nilai yakni paham kapitalis dan sosialis, menjadi solusi yang syarat dengan
sistem nilai yang penuh dan lengkap, bersumber pada tauhid, bahkan memuat
nilai-nilai instrumental dan norma-norma yang operasional.
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mengalami kemajuan dan mempunyai
prospek yang baik ditandai dengan lahirnya lembaga-lembaga keungan, namun
demikian masih banyak kendala yang dihadapi diantaranya:
1.
Pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk
memanfaatkan masih rendah disamping karena mereka sudah terbiasa hidup dalam
ekonomi kapitalis juga kurang mendapat sosilisasi.
2.
Dukungan penuh dari pengambil kebijakan belum
maksimal
3.
Masih terbatas sumberdaya manusia
Model
pembelajaran yang digunakan atau diperaktekkan dalam dunia pendidikan di
Indonesia pada awal masa pembaharuan dan sampai sekarang adalah hasil proses
dialektika antara model pendidikan barat yang dibawah oleh penjajah(Belanda),
dengan pengaruh pembaharuan pemikiran yang terjadi di Timur Tengah.
Pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia ditandai dengan perobahan dari kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan di surau atau langgar, diganti sistem kelas, kurikulum
yang diajarkan tidak lagi hanya pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan
umum, bahkan bahasa Belanda dan bahasa Inggris juga menjadi bagian dari
kurikulum.
Di pihak
penjajah berusaha mendirikan sekolah-sekolah umum dan ini bukan hanya membawa
dampak positif, tetapi juga membawa persoalan yang sampai saat ini menjadi
bahan diskursus dikalangan dunia akademisi pendidikan Islam di Indonesia, yaitu
terjadinya dikotomi pendidikan; pendidikan agama di satu pihak dan pendidikan
umum di pihak lain.